Pages

Sunday, July 31, 2011

Kisah Sahabat Siri 4

ABU AYYUB AL ANSHORY
(Dimakamkan di bawah Tiang kota Konstantinopel)

Sahabat yang mulia ini bernama : KHALID BIN ZAID BIN KULAIB dari Bani Najjar. Gelarnya Abu Ayyub, dari golongan Anshar. Siapakah di antara kaum muslimin yang belum mengenal Abu Ayyub Al Anshary?
Nama dan darjatnya dimuliakan Allah di kalangan makhluk, baik di Timur mahupun di Barat. Kerana Allah telah memilih rumahnya di antara sekalian rumah kaum muslimin, untuk tempat tinggal NabiNya yang mulia, ketika baginda baru tiba di Madinah sebagai Muhajirin. Hal ini cukup membanggakan bagi Abu Ayyub.
Bertempatnya Rasulullah di rumah Abu Ayyub merupakan kisah manis untuk diulang-ulang dan sangat baik untuk dikenangkan.
Setibanya Rasulullah di Madinah, baginda disambut dengan hati terbuka oleh seluruh penduduk, baginda dialu-alukan dengan kemuliaan yang belum pernah diterima oleh seorang tetamu atau utusan manapun. Seluruh mata tertumpu kepada baginda, memancarkan kerinduan seorang kekasih kepada kekasihnya yang baru tiba. Mereka membuka hati selebar-lebarnya untuk menerima kasih sayang Rasulullah. Mereka buka pula pintu rumah masing-masing, supaya kekasih mulia yang dirindukan itu sudi tinggal di rumah mereka.
Sebelum sampai di kota Madinah, beliau berhenti terlebih dahulu di Quba’ selama beberapa hari. Di Kampung itu beliau membangunkan masjid yang merupakan masjid yang pertama didirikan atas dasar taqwa. Sesudah itu beliau meneruskan perjalanan ke kota Yatsrib menunggang unta. Para pemimpin Yatsrib berdiri sepanjang jalan yang akan dilalui oleh baginda untuk sampai ke Yathrib. Masing-masing berebut meminta Rasulullah tinggal di rumahnya. Karena itu setiap orang menghalang dan memegang tali unta baginda untuk membawanya ke rumah mereka.
“Ya, Rasulullah! Sudilah Anda tinggal di rumah saya selama Anda menghendaki. Kebebasan dan keamanan Anda terjamin sepenuhnya.” kata mereka berharap.
Jawab Rasulullah, “Biàrkanlah unta ini berjalan ke mana dia mahu, karena dia sudah mendapat perintah.”
Unta Rasulullah terus berjalan. diikuti semua mata, dan hati sentiasa berharap. Bila unta melewati sebuah rumah, terdengar keluhan putus asa pemiliknya, karena apa yang diangan-angankannya ternyata hampa.
Unta terus berjalan melenggang seenaknya. Orang ramai berjalan mengiringi di belakang baginda. Mereka ingin tahu siapa yang beruntung rumahnya menjadi tempat tinggal tamu dan kekasih yang mulia ini.
Sampai di satu tempat lapang, iaitu di halaman rumah Abu Ayyub Al Anshory unta itu berhenti dan berlutut. Rasulullah tidak segera turun dari punggung unta. Unta itu disuruhnya berdiri dan berjalan kembali. Tetapi setelah berkeliling-keliling, unta berlutut kembali di tempat itu semula.
Abu Ayyub mengucapkan takbir dan tahmid karena terlalu gembira. Dia segera mendekati Rasulullah dan mempersilakan baginda masuk. Diangkatnya barang-barang baginda dengan kedua tangannya, bagaikan mengangkat seluruh perbendaharaan dunia. Lalu dibawa ke rumahnya.
Rumah Abu Ayyub mempunyai 2 tingkat, kemudian tingkat atas dikosongkan dan dibersihkannya untuk tempat tinggal Rasulullah. Tetapi Rasuluulah lebih suka tinggal di bawah. Abu Ayyub menurut saja di mana baginda senang. Setelah malam tiba, Rasulullah masuk ke bilik tidur. Abu Ayyub dan isterinya naik ke tingkat atas. Ketika suami isteri itu menutupkan pintu, Abu Ayyub berkata kepada isterinya, “Celaka....! Mengapa kita sejahil ini. Layakkah Rasulullah tinggal di bawah, sedangkan kita berada lebib tinggi dari baginda”, layakkah kita benjalan di atas baginda? Layakkah kita mengalilingi antara Nabi dan Wahyu? Niscaya kita celaka!”
Kedua suami isteri itu bingung, tidak tahu apa yang harus diperbuat. Setelah lama berdiam diri, akhirnya mereka memilih bilik tidur yang tidak setentang dengan bilik tidur Rasulullah. Mereka berjalan berjingkit-jingkit untuk menghindarkan bunyi telapak kaki mereka. Setelah hari Subuh, Abu Ayyub berkata kepada Rasulullah, “kami tidak boleh memejamkan mata sedikitpun malam tadi. Baik aku maupun Ibu Ayyub.”
“Mengapa begitu?” tanya Rasulullah
“Aku memikirkan, kami berada di atas sedangkan kamu wahai Rasulullah Yang kami muliakan berada di bawah. Apabila bergerak sedikit saja, aku terasa mengenai Rasulullah. Di samping itu kami mengalilingi Rasulullah dengan wahyu,” kata Abu Ayyub menjelaskan “Bertenanglah, wahai Abu Ayyub, aku lebih suka tinggal di bawah, kerana akan banyak tamu yang datang berkunjung.”
Kata Abu Ayyub, “Akhirnya saya mengikuti kemahuan Rasulullah.
Pada suatu malam yang dingin, bekas air kami pecah di tingkat atas, sehingga airnya tumpah. Kain lap hanya ada sehelai, karena itu kami keringkan air itu dengan baju, kami sangat khuatir kalau-kalau air mengalir ke tempat Rasulullah. Saya dan Ibu Ayyub bekerja keras mengeringkan air tersebut sampai habis. Setelah hari Subuh saya pergi menemui Rasulullah.
Saya berkata kepada baginda, “Sesungguhnya, saya sangat segan bertempat tinggal di atas, sedangkan Rasulullah tinggal di bawah”.
Kemudian Abu Ayyub menceritakan kepada baginda perihal bekas air yang pecah itu. Karena itu, Rasulullah memperkenankan kami pindah ke bawah dan baginda pindah ke atas.
Rasulullah tinggal di rumah Abu Ayyub lebih kurang tujuh bulan. Setelah masjid Rasulullah selesai dibangunkan, baginda pindah ke bilik-bilik yang dibuatkan untuk baginda dan para isteri baginda sekitar masjid. Sejak pindah dari rumah Abu Ayyub, Rasulullah menjadi jiran terdekat bagi Abu Ayyub. Rasulullah sangat menghargai Abu Ayyub suami isteri sebagai jiran yang baik.
Abu Ayyub mencintai Rasulullah sepenuh hati. Sebaliknya baginda mencintainya pula, sehingga mereka saling bantu-membantu dalam setiap kesusahan. Rasulullah memandang rumah Abu Ayyub seperti rumah sendiri.
Ibnu ‘Abbas pernah bercerita sebagai berikut:
Pada suatu hari di waktu tengah hari yang amat panas, Abu Bakar pergi ke masjid, lalu bertemu dengan ‘Umar r.a.
“Hai, Abu Bakar! Mengapa Anda keluar di saat panas begini?”, tanya Umar.
Jawab Abu Bakar, “Saya lapar!”
Kata ‘Umar, “Demi Allah! Saya juga lapar.”
Ketika mereka sedang berbincang begitu, tiba-tiba Rasulullah muncul.
Tanya Rasulullah, “Hendak kemana kamu berdua di saat panas begini?”
Jawab mereka, ‘Demi Allah! Kami mencari makanan karena lapar.”
Kata Rasulullah, “Demi Allah yang jiwaku di tanganNya! Saya juga lapar. Ayuh! Marilah ikut saya.”
Mereka bertiga berjalan bersama-sama ke rumah Abu Ayyub Al Anshory. Biasanya Abu Ayyub selalu menyediakan makanan setiap hari untuk Rasulullah. Bila baginda terlambat atau tidak datang, makanan itu dihabiskan oleh keluarga Abu Ayyub. Setelah mereka tiba di pintu, Ibu Ayyub keluar mendapatkan mereka.
‘Selamat datang, ya Nabiyallah dan kawan-kawan!” kata Ibu Ayyub.
“Kemana Abu Ayyub?” tanya Rasulullah.
Ketika itu Abu Ayyub sedang bekerja di kebun kurma dekat rumah. Mendengar suara Rasulullah, dia bergegas menemui baginda.
“Selamat datang, ya Nabiyallah dan kawan-kawan!” kata Abu Ayyub.
Abu Ayyub langsung menyambung bicaranya, “Ya, Nabiyallah! Jarang sekali Anda datang pada waktu seperti sekarang”.
Jawab Rasulullah “Betul. wahai Abu Ayyub!
Abu Ayyub pergi ke kebun, lalu dipotongnya setandan kurma. Dalam setandan itu terdapat kurma yang sudah kering, yang basah, dan yang setengah masak.
Kata Rasulullah, “Saya tidak menghendaki engkau memotong kurma setandan begini. Alangkah baiknya jika engkau petik saja yang sudah kering.”
Jawab Abu Ayyub, “Ya, Rasulullah! Saya senang jika Anda suka merasai buah kering, buah yang basah, dan buah yang setengah masak. Sementara itu saya sembelih kambing untuk Anda bertiga.”
Kata Rasulullah, “Jika engkau menyembelih, jangan disembelih kambing yang sedang disusui.”
“Abu Ayyub menangkap seekor kambing, lalu disembelihnya. Dia berkata kepada isterinya Ibu Ayyub, “Buat adonan roti. Engkau lebih pintar membuat roti.”
Abu Ayyub membagi dua sembelihannya. Separuh digulainya dan separuh lagi dipanggangnya. Setelah masak, maka dihidangkannya ke hadapan Rasulullah dan sahabat baginda. Rasulullah mengambil sepotong gulai kambing, kemudian diletakkannya di atas sebuku roti yang belum dipotong.
Kata baginda, “Hai Abu Ayyub! Tolong hantarkan ini kepada Fatimah. Sudah beberapa hari dia tidak mendapat makanan seperti ini.”
Selesai makan, Rasulullah berkata, “Roti, daging, kurma kering, kurma basah, dan kurma setengah masak.” Sambil air mata baginda mengalir ke pipinya.
Kemudian baginda bersabda “Demi Allah yang jiwaku di tangan-Nya! Sesungguhnya beginilah nikmat yang kalian minta nanti di hari kiamat. Maka apabila kalian memperolehi yang seperti ini bacalah “Basmalah” lebih dahulu sebelum kalian makan. Bila sudah kenyang, baca tahmid: “Segala puji bagi Allah yang telah mengenyangkan kami dan memberi kami nikmat.”
Kemudian Rasulullah SAW bangkit hendak pulang. Beliau berkata kepada Abu Ayyub; “Datanglah besok ke rumah kami!”
Sudah menjadi kebiasaan bagi Rasulullah, apabila Seseorang berbuat baik kepadanya, beliau segera membalas dengan apa yang lebih baik. Tetapi Abu Ayyub tidak mendengar perkataan Rasulullah kepadanya. Lalu dikata oleh Umar, “Rasulullah menyuruh Anda datang besok ke rumahnya.”
Kata Abu Ayyub, “Ya, saya patuhi setiap perintah Rasulullah.”
Keesokan harinya Abu Ayyub datang ke rumah Rasulullah. Beliau memberi Abu Ayyub seorang gadis kecil sebagai pembantu rumah. Kata Rasulullah, “Perlakukanlah anak ini dengan baik, hai Abu Ayyub! Selama dia di tangan kami, saya lihat anak ini baik.”
Abu Ayyub pulang ke rumahnya membawa seorang gadis kecil.
“Untuk siapa ini, wahai suamiku Abu Ayyub?” tanya isterinya Ibu Ayyub.
“Untuk kita. Anak ini diberikan Rasulullah kepada kita,”jawab Abu Ayyub.
“Hargailah pemberian Rasulullah. Perlakukan anak ini lebih daripada suatu pemberian’ “ kata Ibu Ayyub.
“Memang! Rasulullah berpesan supaya kita bersikap baik terhadap anak ini,” kata Abu Ayyub. “Bagaimana selayaknya sikap kita terhadap anak ini, supaya pesan beliau terlaksana?” tanya Ibu Ayyub.
“Demi Allah! Saya tidak melihat sikap yang lebih baik, melainkan memerdekakannya,” jawab Abu Ayyub.
“Kakanda benar-benar mendapat hidayah Allah. Jika kakanda setuju begitu, baiklah kita merdekakan dia,” kata Ibu Ayyub menyetujuinya.
Lalu gadis kecil itu mereka merdekakan.
Begitulah sebahagian daripada sirah kehidupan Abu Ayyub setelah dia masuk Islam. Kalau dipaparkan tentang sejarah kehidupannya dalam peperangan, kita akan terpegun dan kagum dengannya. Sepanjang hayatnya Abu Ayyub hidup dalam peperangan. Sehingga dikatakan orang, Abu Ayyub tidak pernah ketinggalan dalam setiap peperangan yang dihadapi kaum muslimin semenjak hayat Rasulullah SAW sampailah dia wafat di masa pemerintahan Mu‘awiyah. Kecuali bila dia sedang bertugas dengan suatu tugas penting yang lain.
Peperangan terakhir yang diikutinya, ialah ketika Muawiyah memerintahkan tentera muslimin merebut kota Konstantinopel. Abu Ayyub seorang prajurit yang patuh dan setia. Ketika itu dia telah berusia lebih lapan puluh tahun. Suatu usia yang boleh dikatakan usia akhir tua. Tetapi usia tidak menghalanginya untuk bergabung dengan tentara muslimin di bawah bendera Yazid bin Mu’awiyah. Dia tidak menolak mengharungi laut, membelah ombak untuk berperang fisabilillah. Tetapi belum beberapa lama dia berada di medan tempur menghadapi musuh, Abu Ayyub jatuh sakit. Abu Ayyub terpaksa istirahat di perkhemahan, kerana tidak dapat melanjutkan peperangan disebabkan badannya yang sudah terlalu lemah.
Ketika Yazid mengunjungi Abu Ayyub yang sakit, panglima ini bertanya, “Adakah sesuatu yang Anda kehendaki, hai Abu Ayyub?”

Jawab Abu Ayyub, “Tolong sampaikan salam saya kepada seluruh tentara muslimin. Katakan kepada mereka, Abu Ayyub berpesan supaya kalian semuanya terus maju sampai ke jantung daerah musuh. Bawalah saya beserta kalian. Kalau saya mati, kuburkan saya dekat tiang kota Konstantinopel!”
Tidak lama sesudah ia berkata demikian, Abu Ayyub menghembuskan nafasnya yang terakhir. Dia wafat menemui Tuhannya di tengah-tengah kancah pertempuran.
Tentara muslimin memperkenankan keinginan sahabat Rasulullah yang mulia ini. Mereka berperang dengan gigih, menghalau musuh dari satu medan ke medan tempur yang lain. Sehingga akhirnya mereka berhasil mencapai tiang-tiang kota Konstantinopel, sambil membawa jenazah Abu Ayyub.
Dekat sebuah tiang kota Konstantinopel mereka menggali kubur, lalu mereka makamkan jenazah Abu Ayyub di sana, sesuai dengan pesan Abu Ayyub.
Semoga Allah melimpahkan rahmatNya kepada Abu Ayyub. Dia tidak ingin mati kecuali dalam barisan tempur yang sedang berperang fisabiillah. Sedangkan usianya telah mencapai lapan puluh tahun.
Itulah Abu Ayyub Al Anssory Radhiyallahu ‘anhu. Amin!!!

No comments: